A PHP Error was encountered

Severity: 8192

Message: strpos(): Non-string needles will be interpreted as strings in the future. Use an explicit chr() call to preserve the current behavior

Filename: MX/Router.php

Line Number: 239

Backtrace:

File: /home/u199773734/domains/harianmomentum.com/public_html/app/application/third_party/MX/Router.php
Line: 239
Function: strpos

File: /home/u199773734/domains/harianmomentum.com/public_html/app/application/third_party/MX/Router.php
Line: 72
Function: set_class

File: /home/u199773734/domains/harianmomentum.com/public_html/app/index.php
Line: 316
Function: require_once

ISIS Tidak Mewakili Siapa-Siapa | Harian Momentum

ISIS Tidak Mewakili Siapa-Siapa

932 Views
Foto: Google.

Harianmomentum.com--Hadiah Nobel Perdamaian 2018 diberikan kepada Nadia Murad dan Denis Mukwege atas jasa-jasa mereka mencegah pemerkosaan sebagai senjata perang. 

Murad, perempuan Yazidi, Irak Utara berusia 25 tahun, pernah menjadi budak seks kelompok yang menamakan diri Negara Islam (ISIS) selama tiga bulan. Ia diculik oleh milisi ISIS pada 2014, dijadikan sebagai budak seks dan diperjualbelikan beberapa kali sebelum berhasil meloloskan diri. "Milisi ISIS di Mosul ada di mana-mana. Saya pernah lari melalui jendela, tapi langsung ditangkap," kata Murad. Saat ditangkap kembali, ia dimasukkan ke satu sel dan diperkosa oleh semua milisi ISIS yang yang berjaga di sel tersebut. Murad, bagi ISIS, dianggap sebagai rampasan perang dan boleh dijadikan sebagai budak. "Saya diperkosa beramai-ramai," ungkap Murad. Ia mengatakan memperkosa perempuan hasil rampasan perang "adalah bagian dari perjuangan ISIS". Sejak itu ia berpikiran tak akan mau lagi mencoba meloloskan diri.

Peluang lolos muncul saat milisi ISIS terakhir yang menjaganya hidup sendiri di Mosul. Milisi ini mengatakan akan menjual Murad dan ia memintanya untuk membersihkan diri. Saat milisi ini keluar, Murad memberanikan diri untuk meninggalkan rumah dan mengetok pintu salah satu tetangga. Ternyata yang ia ketok adalah satu keluarga Muslim yang tak punya hubungan dengan ISIS. Keluarga Muslim inilah yang menyelamatkan dirinya. Mereka memberi Murad abaya hitam dan kartu identitas baru dan membawanya ke perbatasan. 

Sejak lolos dari sekapan ISIS pada November 2014, Murad aktif mengkampanyekan dihentikannya penyelundupan manusia dan menyerukan dunia agar mengambil langkah-langkah tegas dengan tujuan tak lagi ada pihak-pihak yang menggunakan pemerkosaan sebagai senjata perang. 

Pada 2016 Dewan Eropa memberi Murad penghargaan hak asasi manusia Vaclav Havel. Saat menerima penghargaan ini di Strasbourg, Prancis, Murad mendesak milisi-milisi ISIS diadili di pengadilan internasional. Tahun lalu PBB mengangkatnya sebagai duta besar khusus.

Dari cerita dan pengalaman yang dialami oleh Nadia Murad diatas, jelas masyarakat dunia harus sepakat bahwa ISIS adalah musuh bersama umat manusia di seluruh negara, sehingga diperlukan kebersamaan untuk memberantas ISIS, sebab ISIS tidak mewakili siapa-siapa. 

Jika banyak anggota ISIS yang mengaku beragama Islam ataupun ketika melakukan aksi keji kemanusiaan dengan melafalkan nama Alloh SWT, belum tentu mereka adalah Islam, karena sejatinya dalam ajaran Islam ada beberapa aturan dan adab dalam berperang antara lain tidak boleh menahan orang tua, anak-anak dan perempuan, termasuk tidak merusak lingkungan hidup. Apa yang dilakukan oleh ISIS dibawah Abu Bakar Al Baghdadi yang diyakini masih hidup dan saat ini sedang “lari dan bersembunyi” di Afganistan jelas sangat bertentangan dengan nilai-nilai ajaran Islam.

ISIS dan Pemberontak Menggunakan Drone Tapi untuk mengalahkan ISIS tidaklah mudah, sebab dalam perkembangan terakhirnya, kelompok teroris ini telah menggunakan drone sebagai alat penyerangan mereka, terbukti seminggu yang lalu, beberapa individu di Denmark ditangkap oleh aparat keamanan setempat setelah mencoba untuk membeli drone yang akan dikirimkan ke ISIS di Irak dan Suriah. 

Penggunaan drone dan teknologi terkini lainnya oleh kelompok teroris atau pemberontak atau non state actor lainnya akan mencemaskan perkembangannya di masa mendatang, dengan adanya contoh lainnya ketika drone digunakan oleh kelompok teroris dan pemberontal untuk melakukan kegiatan intelijen, surveillance atau penjejakan dan misi pelacakan lainnya bahkan menggunakan drone sebagai senjata (Drones can be employed by terrorists and insurgents for intelligence, surveillance, and reconnaissance missions, or they can be weaponized), dimana sebelumnya ISIS pada awal Januari 2018 menggunakan drone untuk meletakkan granat guna menyerang markas militer musuhnya, termasuk kelompok pemberontak yang dibiayai Turki menggunakan drone untuk menyerang dua basis militer Rusia di Suriah. Bahkan di Venezuela, pada Agustus 2018 ada upaya pembunuhan terhadap Presiden Venezuela, Nicolas Maduro dengan menggunakan drone.

Mengalahkan ISIS harus membutuhkan kebersamaan global, termasuk menjamin tidak adalah “global betrayal” yang malah bisa menguntungkan eksistensi ISIS ke depan. Mengacu kepada teori “The Staircase to terrorism” oleh Doktor Fathali M Moghddam dari Georgetown University, AS, maka keperluan memerangi teroris dan pemberontak saat ini sudah mencapai lantai keempat dan kelima. Kita harus menggunakan frasa “use” versus “them”, dengan kata lain jangan ada keraguan untuk mengelompokkan teroris sebagai musuh bersama. Semoga. (Penulis adalah Toni Ervianto alumnus Universitas Indonesia)